Oleh Mohammad Nuh
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI
Artikel ini Sudah
Dimuat di Harian Kompas
Dalam beberapa bulan
terakhir, harian Kompas memuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra
terhadap rencana implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut.
Saya berkesimpulan,
mereka yang mempertanyakan kurikulum 2013 adalah karena ada perbedaan cara
pandang atau belum memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi
yang menjadi dasar Kurikulum 2013.
Secara falsafati,
pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan
peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu
bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi
dan peradabannya.
Dalam UU Sisdiknas,
menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti
beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi
kebutuhan kompetensi Abad 21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas,
bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum
berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga
kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan
adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional perlu
dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap,
pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang
harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan bertakwa,
berilmu, dan seterusnya.
Mengingat pendidikan
idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses
pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk
melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan
dapat dicapai.
Dalam usaha
menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses
panjang tersebut dibagi menjadi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan
kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai
perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara
input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.
Sebagai konsekuensi
dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan
antara. Pada dasarnya kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang
dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali
dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya,
kurikulum jenjang satuan pendidikan.
Dalam teori manajemen,
sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup
empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik
(keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi
yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar
isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga,
pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai
bagian dari standar proses), supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk
pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian
tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan
keluaran tersebut sesuai dengan rencana.
Dengan konsep
kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa
pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum, karena yang
perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran bukan kurikulum. (Mohammad
Abduhzen, “Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas, 21/2 dan “Implementasi Pendidikan”,
Kompas, 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum
berbasis kompetensi termasuk mencakup metodologi pembelajaran.
Tanpa metodologi
pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan.
Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah
keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai “memiliki (melalui mengamati, menanya,
mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak
yang produktif dan kreatif, dalam ranah konkret dan abstrak, sesuai
dengan yang ditugaskan kepadanya.”
Kompetensi semacam ini
tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk
metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu, sudah dirumuskan
dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai
suatu taksonomi.
Pemikiran pengembangan
Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar
taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006,
dan tantangan Abad 21 serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah
tepat apa yang disampaikan Elin Driana, “Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas,
14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya
dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.
Mengatakan tidak ada
masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil
pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata
pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS
yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP.
Belum lagi rumusan
kompetensi yang belum sesuai dengan tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia,
ketidaksesuaian materi matapelajaran dan tumpang tindih yang tidak diperlukan
pada beberapa materi matapelajaran, kecepatan pembelajaran yang tidak selaras
antarmata pelajaran, dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran,
sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan berfikir.
Kompetensi Inti
Kompetensi lulusan
jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang
untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan
proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi
jadi beberapa tahap sesuai dengan jenjang kelas di mana kurikulum tersebut
diterapkan.
Sejalan dengan UU,
kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk
sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti
meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan
meningkatnya kelas.
Melalui kompetensi
inti, sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal
antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari
kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi
lulusan multidimensi, kompetensi inti juga memiliki multidimensi. Untuk
kemudahan operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi
dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman
dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta
didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Kompetensi inti bukan
untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata
pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada
kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran
yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap
pembentukan kompetensi inti.
Ibaratnya, kompetensi
inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan
mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai
integrator horizontal antarmata pelajaran.
Dengan pengertian ini,
kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata
pelajaran tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta
didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan
diserap peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat, menjadi
kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan baik,
tentunya tidak akan ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan
alasan pada “Kompetensi Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang
mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia, karena memang tidak ada yang namanya
kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana yang dipertanyakan Acep Iwan
Saidi, “Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3).
Dalam mendukung
kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi
kompetensi dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini
sesuai dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam
kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi
pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.
Uraian kompetensi
dasar sedetil ini adalah untuk memastikan bahwa capaian pembelajaran tidak
berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan,
dan bermuara pada sikap.
Kompetensi dasar dalam
kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik, karena kompetensi
ini tidak diajarkan, tidak dihafalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan
bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut, ada pesan-pesan
sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya. Apabila konsep
pembentukan kompetensi ini dipahami, dapat mengurangi bahkan menghilangkan
kegelisahan yang disampaikan L. Wiliardjo dalam “Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas,
22/2)
Kedudukan Bahasa
Uraian rumusan
kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat
merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat dimana peserta
didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat
memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih berfikir abstrak. Dalam
kondisi seperti inilah, maka terlebih dahulu perlu dibentuk suatu saluran yang
menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta
didik yang masih mulai belajar berfikir abstrak.
Di sini peran bahasa
menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua
sumber kompetensi kepada peserta didik.
Usaha membentuk
saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan
dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain.
Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai
konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa
Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi
inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan
mudah direalisasikan.
Dengan cara ini pula,
maka pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu
yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga
pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati oleh pendidik maupun peserta
didik.
Melalui pembelajaran
Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih menyajikan
bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis. Mengatakan kompetensi
dasar Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman
peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan
Saidi, “Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai
pembawa kandungan ilmu pengetahuan.
Kurikulum 2013 adalah
kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum terselesaikan karena desakan untuk
segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Rumusannya berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum
berbasis materi, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi
tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan
munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis
materi. Untuk itu ada baiknya memahami lebih dahulu terhadap konstruksi
kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas,
sebelum mengkritik. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar